VOLKANISMA DAN EVOLUSI TEKTONIK
Pendahuluan
Para peneliti terdahulu telah menyampaikan kesesuaian hubungan antara tatanan geologi dan geofisika dari busur kepulauan Indonesia dengan tektonik global yang baru. Gagasan mengenai hubungan antara vulkanisma dan tektonik Indonesia telah digambarkan oleh van Bemelen (1949), yang pemahaman dan sintesisnya dengan tektonik lempeng saat ini tidak selaras. Gagasan lebih lanjut adalah menjelaskan evolusi tektonik Indonesia bagian barat dengan memakai data baru dan menggunakan penentuan umur batuan granit, serta menjelaskan gejala evolusi tektonik Indonesia bagian timur yang rumit. Di sini tektonik lempeng digunakan sebagai dasar, memodifikasi, meningkatkannya dan melakukan perubahan terhadap yang perbah dilakukan dalam teori klasik.
Pembaruan Model Tektonik Lempeng Indonesia
Model tektonik lempeng Indonesia dalam satu pola konvergen telah dibuat oleh Hamilton (1970) dan Katili (1971). Sistem busur subduksi Sumatera dibentuk oleh penyusupan lempeng samudra di bawah lempeng benua. Lempeng benua tebal dan tua ini meliputi busur volkanik berumur Perm, Kapur dan Tersier (Katili, 1973). Sedimen elastis sangat tebal menyusup di subduksi Sumatera (Hamilton, 1973) dan sedimen yang tebal didorong ke atas membentuk rangkaian kepulauan. Batuan magmatik yang dibentuk di atas zona Benioff selalu mempunyai karakter asam dan menengah.
Sistem subduksi Jawa dibentuk oleh subduksi lempeng samudra di bawah lempeng benua. Lempeng ini tipis dan berumur muda, serta seluruhnya hampir terdiri dari batuan volkano-plutonik berumur Tersier (Katili, 1973). Beberapa ignimbrit dijumpai di Jawa. Batuan magmatik kebanyakan menengah. Lempeng samudra di selatan subduksi tertutup sedimen pelagis dengan ketebalan 200 m (Hamilton, 1973).
Sistem subduksi Timor menunjukkan karakter yang berbeda. Dua fase yang berbeda dapat dirincikan dalam perkembangan busur Banda. Pada tahap awal, lempeng samudra India-Australia disusupkan dibawah lempeng samudra Banda. Tahap berikutnya diikuti oleh subduksi lempeng benua Australia ke zona subduksi busur Banda, sebagai akibat gerakan menerus lempeng Australia ke utara. Hasil dari penurunan zona subduksi aktif ini adalah tidakadanya gunungapi aktif di pulau Alor, Wetar dan Romang. Jika asumsi ini benar, maka perlu dicari material mantel (ofiolit) di endapan tua Timor, serta sedimen darat di endapan-endapan Plio-Plistosen
Batuan magmatis yang dibentuk di atas zona Benioff Timor cenderung menengah dan basa. Lempeng di sini tipis dan muda dan diapit oleh lempeng benua. Ketebalan sedimen di zona subduksi Timor saat ini sekitar 8000 kaki, dengan kondisi yang relatif terganggu oleh sesar tensional yang dapat diamati.
Busur Sumatera, Jawa dan Banda menunjukkan perbedaan yang disebabkan oleh elemen-elemen lempengnya. Lempeng yang tua dan tebal akan membentuk rangkaian pulau-pulau besar dengan sifat gunungapi asam sampai menengah, sedang lempeng yang muda dan tipis akan membentuk pulau-pulau kecil dengan sifat gunungapi menengah sampai basa.
Dalam zona subduksi Tersier di Kalimantan barat-laut jarang ditemukan elemen-elemen eugeosinklin seperti ofiolit, rijang, lempung merah. Flish berumur Kapur Atas - Eosen Atas yang berkembang sedikit atau tidak mengandung rijang dan ofiolit, sehingga menunjukkan adanya subduksi sangat miring (Haile, 1972).
Zona subduksi kapur di Jawa Tengah yang menerus ke Pegunungan Meratus di Kalimantan menunjukkan karakteristik dari batuan bancuh tipe Fransiscan (Sukendar, 1974) dan bentuknya yang mengarah ke subduksi Lempeng Samudra India-Australia,
Busur luar non-volkanik Indonesia ditafsirkan sebagai zona subduksi Tersier (Hamilton, 1970; Katili, 1973), dengan berbagai jenis petro-tektonik yang dapat dibedakan. Pulau-pulau di pantai barat Sumatera ditandai oleh flish tebal dengan sedikit ofiolit.
Di pulau Timor, Seram, Buru dan Buton, sejumlah besar material sedimen klastik ditemukan. Sedimen Plio-Pleistosen hampir seluruhnya mempunyai karakter sedimen dan sedikit ofiolit.
Zona Subduksi Tersier dari Sulawesi Timur menunjukkan bahwa lapisan tipis sedimen pelagis mengisi palung. Hal yang sama terjadi di sekitar Halmahera dan pulau kecil disekitarnya.
Kerangka Tektonik Busur Kepulauan Indonesia
Busur Sunda memperlihatkan efek dan mekanisme tektonik lempeng yang jelas. Bentuknya yang cembung ke arah samudra India dan perbedaan tatanan geologi, dan geofisika diintrepretasikan berhubungan dengan gaya tektonik yang bekerja padanya. (Hatherton dan Dickinson, 1969; Fitch, 1970; Hamilton, 1973; dan Katili, 1973).
Bentuk busur Banda yang melengkung, serta Sulawesi dan Halmahera yang ganjil terjadi karena gerak benua Australia dan Papua ke arah utara, yang dikombinasikan oleh gaya dorong Lempeng Pasifik ke arah barat (Katili, 1973). Hal serupa juga dikemukakan oleh Visser dan Hermes (1962), Audley-Charles dan Carter (1972), dan Gribi (1973). Timor, Seram, Buru dan Buton merupakan sistem busur yang sama berkenaan dengan kesamaan tatanan geologinya yang berasal dari hasil penunjaman Lempeng Samudra India-Australia.
Sulawesi pada zaman Mesosoikum kaya batuan metamorf, kecuali Buton dan Seram. Bagian tenggara Sulawesi mengandung ofiolit yang diperoleh dari lempeng samudra dengan endapan nikel dan krom, sedang Buton, Seram dan Timor menunjukkan perlapisan yang mengandung hidrokarbon.
Busur dalam volkanik Sangihe dan busur luar non-volkanik Talaud cenderung sejajar berarah utara-selatan. Punggungan Talaud meluas sampai Mayu dan menerus ke lengan timur Sulawesi. Punggungan bawah laut Mayu di Laut Maluku menunjukkan gaya berat minimum yang diduga merupakan akumulasi endapan-endapan opak dari sisa subduksi tua.
Bentuk dua lengan Sulawesi timur dan Halmahera dapat disebandingkan dengan dua anak panah yang bergerak ke barat. Ini telah diketahui cukup lama bahwa lengan timur yang cembung ke arah barat terdiri dari ofiolit, dan busur barat terdiri dari gunungapi aktif, yang di Sulawesi telah padam pada zaman Kwarter. Sulawesi dan Halmahera merupakan busur kepulauan yang mengarah ke utara selatan yang cembung ke arah Pasifik dengan zona subduksi Sulawesi-Maluku yang miring ke barat.
Pergerakan Lempeng Pasifik ke arah barat yang mengikuti sistem sesar transform menjelaskan kompleksitas tatanan geologi kawasan Sulawesi-Halmahera. Selama pergerakan ini pulau Banggai dan Buton dibawa ke arah timur laut. Pergerakan Banda ke arah timur-barat hanya merupakan pelenturan, tidak membuat sesar besar sepertihalnya di Papua dan Sulawesi. Volkanisme Kenozoikum Sampai Resen
Daerah ini mempunyai tiga fase evolusi magmatik, seperti dikemukakan oleh Stilles sebagai “initialer vlkanismus”, “synorogener putonismus” atau “subsequenter vlkanismus” dan “finaler vlkanismus”. Tetapi konsep ini tidak dapat diterapkan dengan kaku ketika mempelajari hubungan antara volkanisme dan tektonik di Indonesia (Katili, 1969). Konsep Stilles hanya menunjuk satu daerah orogen, dan van Bemmelen memperluas gagasan itu dan menerapkan hal tersebut ke zona yang mempunyai struktur paralel pada sistem pegunungan Sunda, sesuai dengan teori undasinya.
Variasi komposisi laterit dari magma basal memotong kepulauan Indonesia ke berbagai busur sesuai dengan klasifikasi Kuno (1966), kedalaman yang berbeda akan memproduksi magma yang berbeda. Hartheron dan Dickinson (1969) menunjukkan bahwa di Indonesia terdapat korelasi antara peningkatan K2O dalam produk gunungapi yang baru dengan kedalaman zona Benioff. Withford dan Nichols menyimpulkan bahwa kandungan K2O batuan dari gunungapi tunggal di Jawa normalnya memberikan hubungan garis lurus apabila dirajahkan dengan zona Benioff.
Perbedaan kenampakan geologis, geofisik dan kegunungapian Sumatera dan Jawa terjadi karena perbedaan arah gerak ke utara dari lempeng India-Australia, dan perbedaan evolusi penurunan slab. Ini didukung fakta bawa zona magmatik di Sumatera dan Jawa mempunyai pola berbeda (Katili, 1973). Gunungapi di busur Jawa dan Banda menunjukkan dengan jelas efek dari proses ini.
Gunungapi potasik yang hadir di utara Jawa, utara Flores maupun Sumbawa tidak dijumpai di Sumatera. Ini dapat diterangkan bahwa penetrasi terdalam dari litosfer di Jawa dan Flores dapat mencapai 400 dan 700 km. Ketidakadaan gunungapi di Alor, Wetar dan Romang telah dijelaskan oleh adanya penghentian subduksi di busur subduksi Timor (Katili, 1974). Jika gunungapi ini masih berhubungan dengan subduksi Timor, maka perlu ada kesimpulan lain: seberapa jauh subduksi yang padam mempengaruhi keaktifan gunungaapi seperti terjadi di Una-una di teluk Gorontalo, Sulawesi Tengah.
Fitc (1970) menunjukkan bahwa walaupun tidak ada bukti dari mekanisme lokal untuk mendukung keberadaan undertusting sepanjang ujung timur busur Sunda, zona Benioff ada di zona ini. Penghentian zona subduksi oleh ketidakadaan undertrusting tidak harus menunjukkan penghentian gerak litosfer di bagian dalam.
Gunungapi alkali kapur di busur Banda cenderung sejajar dengan palung Timor-Seram, dan berakhir dengan tidak beraturan di Seram. Zona subduksi berakhir di utara Buru dan berubah menjadi bagian luar sisi selatan dari zona sesar Palu Koro. Tidak ada gunungapi aktif yang hadir di antara pulau Buru dan lengan tenggara Sulawesi sebagai representasi lingkungan sesar transform.
Di lengan barat Sulawesi, gunungapi aktif Kenozoikum akhir hadir di ujung selatan pulau, di teluk Gorontalo sebagai gunungapi Una-una serta di wilayah Minahasa dan Sangihe. Posisi tektonik dari gunungapi potasik di Sulawesi selatan ini tidak jelas zona Benioff yang terjadi pada penyusupan di Pulau Jawa
Gunungapi Una-una memproduksi batuan seri alkali menengah, dan tidak ada hubungannya dengan gunungapi-gunungapi alkali kapur yang terdapat di Sangihe dan Minahasa (Katili, 1960). Gunungapi berhubungan dengan adanya zona subduksi yang miring ke arah selatan yang telah patah, seperti dikemukakan Hamilton (1970). Kandungan potas yang tinggi sesuai dengan keberadaan zona subduksi itu. Gunungapi-gunungapi aktif alkali kapur dari kelompok Minahasa-Sangihe dapat berhubungan dengan zona subduksi yang miring ke arah barat, yang sejajar dengan jalur volkanik ini .
Kenampakan menarik lain yang dikemukakan oleh van Bemmelan adalah adanya plato basal di Lampung, Karimunjawa, Miut (Kalimantan Barat) dan Mindai (Paparan Sunda) yang sangat alkalis (Hutchinson, 1973). Di Sumatera tidak dijumpai gunungapi potasik dan litosfer tidak mempunyai kedalaman lebih dari 200 km. Boleh jadi keberadaannya di Kalimantan Barat, kepulauan paparan Sunda atau di Malaysia tidak berkaitan dengan zona subduksi yang ada di sebelah selatan, tetapi dihubungkan dengan zona subduksi yang lain. Hal tersebut juga tidak dijumpai di Selat Makassar dan Laut Cina. Hutchison (1973) mengemukakan hubungan basal tersebut ke deep extension faulting sebagai interaksi lempeng-lempeng Eurasia, Samudra India-Australia dan Pasifik.
Adalah menarik untuk dicatat bahwa basal alkali Karimunjawa dan Sukadana diposisikan sebagai batuan dasar yang terangkat. Busur Karimunjawa, menurut Nayoan (1973) merupakan komplek batuan sedimen klastik dengan ketebalan lebih dari 1.000 m, terdiri dari batupasir kwarsa yang termetamorfkan berumur Kwarter, yang tertutup batuan basalan. Tinggian Lampung yang ditutup oleh basal Sukadana yang berasal dari geneis pra Tersier dan amfibolit yang diintrusi oleh batuan granit berumur Kapur (Katili, 1973). Pemikiran spekulatif pemunculan batuan basal alkali ini diinterpretasikan sebagai gunungapi aktif oleh hot spot yang tidak dapat dihubungkan dengan zona-zona subduksi dan pengangkatan. Jika asumsi ini benar, maka kita harus menerima kenyataan bahwa dataran Sunda telah berproses berjuta-juta tahun (Wilson, 1972) Volkanisma Tersier
Lokasi geografi kepulauan-kepulauan timur Indonesia sebelum interaksi Lempeng-lempeng Eurasia, India-Australia dan Pasifik direkontruksikan berdasarkan pada analisis kinematik kerangka tektonik kepulauan Indonesia seperti telah didiskusikan paparan terdahulu.
Batuan volkanik Tersier di lengan barat daya Sulawesi meliputi trakit, batuan piroklastik, dasit, andesit, lava dan endapan lahar yang sebagian telah terkonsolidasi. Batuan ini terdapat di Pare-pare dan di sepanjang zona sesar Palu.
Batuan volkanik basa menghadirkan bentuk basal dan spilit. Umur batuan yang tidak diketahui hanya batuan volkanik Donggala di Sulawesi Tengah yang dianggap sebagai fasies volkanik berumur Eosen Formasi Tinombo.
Batuan granit di bagian selatan Sulawesi mempunyai umur yang berkisar 5 x 106 sampai 8,6 x 106 juta tahun, sekitar Pliosen Awal sampai Miosen Akhir. Batuan beku gunungapi berumur Tersier Awal di lengan utara Sulawesi telah diselidiki secara dengan rinci oleh Trail dkk (1974)
Formasi Dolokopa yang berumur Miosen Awal sampai Akhir mengandung andesit yang berlapis dengan graywacke dan batugamping. Volkanik Bilungala pada Miosen Awal sampai Pliosen di dekat Gorontalo mengandung andesit, dasit dan riolit. Breksi Wobudu berumur Miosen sampai Pliosen terdiri dari aglomerat andesit, tufa dan beberapa dasit serta basal. Gunungapi Pani yang diperkirakan berumur Pliosen, terdiri dari dasit, riolit, dan andesit yang terdiri dari batuan gunungapi dengan nama gunungapi Pinogu yang berumur Pliosen Akhir sampai Plistosen, mengandung andesit, dasit tuf dan aglomerat. Tidak ada penanggalan radiometrik dilakukan terhadap batuan granit di kawasan ini, tetapi indikasi hubungan di lapangan menurut Trail dkk (1974) berkisar antara Pliosen (granodiorit Bumbulan) sampai Miosen (diorit Bone dan Bolihuto). Hal ini mungkin berhubungan dengan zona subduksi dari gunungapi Miosen di lengan utara dan lengan timur Sulawesi.
Batuan volkanik dan granitik berumur Pliosen akhir di Gorontalo boleh jadi desebabkan oleh subduksi minor yang terletak di barat laut Sulawesi yang terjadi akibat bergeraknya sistem sesar Sorong ke arah barat. Volkanisma Pra Tersier
Batuan volkanik Kabur di Pegunungan Gumai mengandung dua fasies yang berbeda (Musper, 1937). Seri Saling yang mengandung tufa, batuan breksi volkanik kasar, aliran lava berkomposisi basalan dan andesitan dan batugamping terumbu. Seri Lingsing yang berisi formasi monoton dari lapisan tipis asam dan lempung dengan rijang radiolaria. Batuan volkanik berumur Kapur Atas mempunyai kisaran umur 169 ± 7 sampai 171 ± 3 juta tahun.
Volkanisme Perm terjadi di sepanjang Sumatera. Kejadian pada dataran tinggi Padang, Sumatera Tengah dan Jambi dirincikan dengan baik oleh Klompe dll (1961). Di Sumatera Tengah batuan volkanik mengandung aliran andesit horblenda, andesit augit dan tufa dengan interkalasi serpih asam dan batugamping yang mengandung fosil berumur Perm. Model tektonik lempeng memerlukan eksistensi granit Perm di Sumatera. Berdasarkan penentuan radiometri granit Paleozoikum di Sumatera Selatan dan Tengah berumur 276 – 298 juta tahun.
Batuan volkanik basalan dan andesit yang melimpah dideskripsikan oleh Klompee (1961) di Kalimantan Barat dan Malaysia Timur. Sebaran batuan volkanik andesitan dan riolitik yang melimpah merupakan ciri khas semanjung Malaysia Timur (Hutchinson, 1973)
Kesesuaian zona subduksi gunungapi Sumatera berumur Perm yang menyusup ke benua Asia dengan zona Benioff purba yang berasosiasi dengan volkanik Malaysia – Borneo, yang menyusup ke arah Samudra India. Kejadian ini tidak sesuai dengan sistem palung busur yang telah dirincikan oleh Katili (1973) dan diperkuat oleh Hutchinson (1973) Pupilli (1973). Alkali granit yang melimpah dengan umur yang berbeda di Kalimantan barat nampak mendukung keberadaan postulat yang menolak adanya zona subduksi ini.
Kejadian lain menyebutkan bahwa volkanisma Perm di Timor, didiskusikan oleh Roever (1941). Batuan di sini mengandung basal olivin, traki basal, traki alkali dan alkali riolit yang lebih tua dari ofiolit Timor, yang selama ini dikenal sebagai kegiatan volkanik di awal geosinklin. Kenampakan gologis, komposisi dan umur gunungapi tersebut menunjukkan bahwa bukan busur volkanik Perm. Penutup
Zona penujaman berumur Perm yang menyusup ke timur laut ke arah Benua Asia yang hadir di Kalimantan Batat menunjukkan salah satu episoda hadirnya litofser ke kawasan ini. Vulkanisma andesitan dan tubuh granit menyertai proses subduksi ini. Dalam waktu yang sama subduksi yang berarah barat daya dipercaya bekerja di timur laut tepi benua. Batuan andesitan, basalan, granitik terdapat di Malaysia Barat dan Kalimantan Barat sebagai kawasan volkano-plutonik.
Pada zaman Kapur zona subduksi bagian barat daya dan barat laut, keduanya menjadi lebih besar dan mengarah ke Samudra India dan Laut Cina Selatan.
Selama Tersier pengembangan sistem palung busur di Indonesia mencapai titik paling tinggi. Pusat pemekaran yang berasal dari Samudra Idia menghasilkan satu sistem palung busur yang meluas dari ujung barat laut Sumatera, Jawa, Sunda Kecil, Timor, Tanimbar, Kai, Seram, Buru dan Buton. Busur Banda pada waktu itu menunjukkan kecenderungan arah timur-barat seperti di Nias, Mentawai dan selatan Jawa yang memanjang sejauh 6.000 kilometer. Volkanisme secara intensif dan serempak terjadi bersamaan sepanjang pantai barat Sumatera, pantai selatan Jawa dan Sunda Kecil. Batuan granitis ditemukan di Flores, Alor dan Ambon sepanjang jalur volkano-plutonik Tersier
Pada waktu yang hampir bersamaan pola subduksi baru berarah utara selatan terbentuk di timur Kalimantan, dengan pusat pemekaran di Samudra Pasifik. Kemunculan ini berhubungan pula dengan sistem busur kepulauan Sulawesi - Filipina, karena arah gerak lempeng Pasifik sejak Oligosen-Eosen berubah ke dari timur - barat (Ben Abraham dan Uyeda, 1973).
Pada Miosen Tengah sampai Atas arah zona subduksi Sulawesi Minadanau bergeser dari utara – selatan lebih ke timur, sehingga membentuk busur kepulauan Halmahera. Busur ini tidak dapat berkembang lebih jauh. Subduksi berhenti pada akhir Miosen, dan membentuk busur luar non-volkanik seperti Mentawai, Nias, Tanimbar, Kei, Buru, Seram dan Buton.
Peristiwa paling dramatis di dalam sejarah geologi Indonesia terjadi selama Pliosen, ketika benua Australia bergerak cepat keutara bergabung dengan perputaran Papua yang berputar berlawanan arah jarum jam, dan bersama-sama ke barat membentuk sistem sesar transform Sorong, yang merubah perkembangan Indonesia Timur. Busur Banda yang berarah timur-barat dibengkokan ke arah barat membentur Sulawesi dan Halmahera, sehingga membentuk huruf K, juga menekan Sulawesi kembali beratus kilometer kembali ke arah benua Asia.
Pada zaman Plio-Plestosen zone subduksi barat Sumatera dan selatan Jawa bergeser ke arah laut dari palung Sumatera dan Jawa saat ini. Volkanisme Akhir Kapur sampai Resen bergerak dengan arah kebalikan dari arah kemiringan zona Benioff menunjukkan kedangkalan dibanding sebelumnya.
Pergerakan benua Australia ke arah utara dan pergerakan lempeng Pasifik ke arah barat daya terus berlanjut, dan diakomodasikan oleh palung Banda dan sistem sesar transform Sorong, sepanjang Banggai, Sula dan Buton.
Gunungapi di Indonesia timur dibentuk setelah tumbukan, mengikuti pola yang relatif sama sejak Tersier, tetapi rusak ketika pola subduksi telah diganti oleh pergerakan sesar transform. Gunungapi ini terdapat di Sulawesi utara, yang dibentuk oleh subduksi minor yang mengakomodasi pergerakan pulau ini. Gunungapi ini juga hadir di Halmahera sebagai konsekuensi polaritas balik akibat benturan di sebelah barat pulau ini.
Evolusi tektonik Kepulauan Indonesia menunjukkan bahwa sejak Paleozoikum zona subduksi sudah menyebar secara sistematis di area yang melebar dari benua ke arah Lautan India, dan kemudian selama Tersier di arah Lautan Pasifik. Zona subduksi semakin tua akan mendekati benua dan semakin muda mendekati lautan.
Busur volkano-plutonik juga menunjukkan suatu zonasi struktur, tetapi volkanik dan granit menunjukkan umur yang berbeda walaupun berada pada jalur yang secara umum tergantung pada tingkat kemiringan zona Benioff. Zona struktur dan kehadiran gunungapi di Indonesia barat sulit ditetapkan kacuali sejak Paleosoikum. Di Indonesia barat zona subduksi belum bergeser sangat jauh ke arah Samudra India, sehingga gunungapi yang lebih muda menembus jalur orogen yang lebih tua. Di Indonesia timur migrasi jalur gunungapi terjadi pada jarak beratus-ratus kilometer. Perbedaan ini dianggap sebagai perilaku menyimpang. Pertumbuhan zona subduksi di Indonesia barat secara regular dapat berlanjut, tetapi di bagian timur selama Pliosen terjadi beranekaragam benturan dari Lempeng India-Australia, Asia dan Pasifik.
Hasil tumbukan ini menjadi pelengkap zona subduksi dengan polaritas terbalik seperti yang terjadi di Halmahera dan Sulawesi barat laut. Sintesis ini mendukung gagasan bahwa Laut Banda merupakan lempeng samudra yang terperangkap di antara busur yang lebih muda, bukan sebagai diapir yang terjadi karena mekanisme tarikan seperti dikemukakan oleh Karig (1971).
Ringkasan dari sumber pokok Geotectonics of Indonesia: a modern view, The Directorate General of Mines, Jakarta, Katili J.A. 1998, hal. 200-224.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar